KISAH SAWERIGADING


 KISAH SAWERIGADING

Sawerigading adalah nama seorang putera raja Luwu dari Kerajaan Luwu Purba, Sulawesi Selatan, Indonesia. Dalam bahasa setempat Sawerigading berasal dari dua kata, yaitu sawe yang berarti menetas (lahir), dan ri gading yang berarti di atas bambu betung. Jadi nama Sawerigading berarti keturunan dari orang yang menetas (lahir) di atas bambu betung.

     Nama ini dikenal melalui cerita yang termuat dalam Sureq Galigo (Periksa Edisi H. Kern 1939), dimulai ketika para dewa dilangit bermufakat untuk mengisi dunia ini dengan mengirim Batara Guru anak patotoe di langit dan Nyilitomo anak guru ri Selleng di peretiwi (dunia bawah) untuk menjadi penguasa di bumi. Dari perkawinan keduanya lahirlah putra mereka yang bernama Batara Lattu’, yang kelak menggantikan ayahnya penguasa di Luwu.

Manuskrip Sureq Galigo dari abad ke-19

Dari perkawinan Batara Guru dengan beberapa pengiringnya dari langit serta pengiring We Nyilitomo dari peretiwi lahirlah beberapa putra mereka yang kelak menjadi penguasa di daerah-daerah Luwu sekaligus pembantu Batara Lattu’. Setelah Batara Lattu’ cukup dewasa, ia dikawinkan dengan We Datu Sengeng, anak La Urumpassi bersama We Padauleng ditompottikka. Sesudah itu Batara Guru bersama isteri kembali kelangit. Dari perkawinan keduanya lahirlah Sawerigading dan We Tenriabeng sebagai anak kembar emas yaitu seorang laki-laki dan seorang perempuan.


Mengenai masa hidup Sawerigading terdapat berbagai versi di kalangan ahli sejarah. Menurut versi Towani-Tolotang di Sidenreng, Sawerigading lahir pada tahun 564 M. Jika versi ini dihadapkan dengan beberapa versi lain, maka data ini tidak terlalu jauh perbedaanya. Untuk lebih jelasnya, berikut ini akan dikemukakan tiga versi mengenai masa hidup Sawerigading, yaitu:


Versi Sulawesi Tenggara, abad V;

Versi Gorontalo, 900 dikurangi 50 = 850;

Versi Kelantan - Terengganu, tahun 710.

Sepertinya, versi Sulawesi Tenggara lebih dekat dengan versi yang dikemukakan oleh masyarakat Towani-Tolotang. Mereka menetapkan versi ini sebab menurut kepercayaan mereka Sawerigading sezaman dengan Nabi Muhammad, bahkan pernah bertemu. 


Sesuai pesan Batara Guru, kedua anak kembar itu harus dibesarkan terpisah supaya kelak bila mereka dijadikan matang tidak akan saling jatuh cinta. Namun suratan memilihkan yang lain, sebab dirantau Sawerigading mendapat keterangan bahwa beliau mempunyai seorang saudara kembar wanita yang sangat cantik, We Tenriabeng namanya. Sejak itu hatinya resah hinggah pada suatu waktu beliau berhasil melihatnya dan langsung jatuh cinta serta bersedia mengawininya. Maksud itu mendapat tentangan kedua orang tuanya bersama rakyat banyak, karena kawin bersaudara merupakan pantangan yang jika dilanggar akan terjadi bencana terhadap negeri, rakyat dan tumbuh-tumbuhan serta seluruh negeri kebingungan. Menempuh suatu diskusi yang panjang, berhasil juga We Tenriabeng membujuk saudaranya untuk berangkat ke negeri Cina memenuhi jodohnya di sana, I We Cudai namanya. Wajah dan perawakannya sama sah dengan We Tenriabeng. Pada waktu Sawerigading berangkat ke Cina, We Tenriabeng sendiri naik kelangit dan kawin dengan tunangannya di sana bernama Remmang ri Langi. Dengan mengatasi hambatan demi hambatan, berakhir berhasil juga Sawerigading mengawini I We Cudai yang tunangannya, Settiaponga sudah lebih dahulu dikalahkan, dalam suatu pertempuran di tangah laut dalam perjalanan menuju ke Cina. Mereka hidup rukun damai dan memperoleh tiga orang anak yaitu : I La Galigo , I Tenridia dan Tenribalobo. Dari seorang selirnya I We Cimpau, Sawerigading memperoleh seorang anak bernama We Tenriwaru.


Dalam pada itu La Galigo pun dijadikan matang, merantau, menyabung, kawin, bertempur dan memperoleh anak. Pada suatu ketika I We Cudai bersedia pergi ke negeri suaminya, menjumpai mertua yang belum pernah diamatinya. Sawerigading bertanya-tanya mengingat akan sumpahnya dahulu, ketika akan bertolak ke Cina, bahwa seumur hidupnya tidak akan lagi menginjakkan kaki lagi ditanah Luwu, tetapi sayang akan isteri, anak dan cucu dibiarkan berlayar sendiri tanpa ditemani, berakhir iapun ikut serta. Setiba di Luwu, Patotoe menetapkan akan menghimpun segenap keluarganya di Luwu. Dalam pertemuan keluarga akbar itulah dipilihkan bahwa keturunan dewa- dewa yang berada di bumi harus segera kembali kelangit atau peretiwi dengan masing-masing seorang wakil.


Tidak lama setelah para kaum keluarga pulang ke negerinya masing-masing Sawerigading bersama anak, isteri dan cucunya pulang ke Cina. Di tengah perlintasan tiba-tiba perahunya meluncur turun ke peretiwi. Di sana ternyata disambut gembira penguasa untuk menggantikan neneknya untuk raja peretiwi. Di peretiwi beliau masih memperoleh seorang anak yang selanjutnya kawin dengan anak We Tenriabeng di langit, yang selanjutnya dikirim ke Luwu untuk dijadikan raja di sana. Berakhir tibalah ketikanya pintu langit ditutup sehingga penguasa yang berada di peretiwi tidak lagi leluasa pulang pergi, dengan ketentuan sewaktu-waktu kelak akan dikirim utusan untuk memperbarui darah mereka untuk penguasa.

Komentar

Postingan Populer